Senin, 13 Juni 2016

Buku PWS KIA Bab 1


Buku PWS BAB 1


BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)  telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
1985. Pada saat itu pimpinan puskesmas maupun pemegang program di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota belum mempunyai alat pantau yang dapat memberikan data yang cepat
sehingga pimpinan dapat memberikan respon atau tindakan yang cepat dalam wilayah
kerjanya. PWS dimulai dengan program Imunisasi yang dalam perjalanannya, berkembang
menjadi PWS-PWS lain seperti PWS-Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) dan PWS Gizi.
Pelaksanaan PWS imunisasi berhasil baik, dibuktikan dengan tercapainya Universal Child
Immunization (UCI)  di Indonesia pada tahun 1990. Dengan dicapainya cakupan program
imunisasi, terjadi penurunan AKB yang signifikan. Namun pelaksanaan PWS dengan indikator
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) tidak secara cepat dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI)
secara bermakna walaupun cakupan pelayanan KIA meningkat, karena adanya faktor-faktor
lain sebagai penyebab kematian ibu (ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dsb). Dengan
demikian maka PWS KIA perlu dikembangkan dengan memperbaiki mutu data, analisis  dan
penelusuran data.
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Neonatus (AKN), Angka Kematian Bayi
(AKB),  dan  Angka Kematian Balita (AKABA)  merupakan beberapa indikator status kesehatan
masyarakat. Dewasa ini AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya. Menurut data  Survei  Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)  2007, AKI
228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34  per 1.000 kelahiran hidup, AKN 19 per 1.000
kelahiran hidup, AKABA 44 per 1.000 kelahiran hidup.
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 adalah 225.642.000 jiwa dengan CBR 19,1 maka
terdapat 4.287.198 bayi lahir hidup. Dengan AKI 228/100.000 KH berarti ada 9.774 ibu
meninggal per tahun atau 1 ibu meninggal tiap jam oleh sebab yang berkaitan dengan
kehamilan, persalinan dan nifas. Besaran kematian Neonatal, Bayi dan Balita jauh lebih tinggi,
dengan AKN 19/1.000 KH, AKB 34/1.000 KH dan AKABA 44/1.000 KH berarti ada 9 Neonatal,
17 bayi dan 22 Balita meninggal tiap jam.
Berdasarkan kesepakatan global  (Millenium Development Goals/MDGs, 2000)
pada tahun 2015 diharapkan Angka Kematian Ibu menurun sebesar tiga-perempatnya dalam
kurun waktu 1990-2015 dan Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita menurun sebesar
dua-pertiga dalam kurun waktu 1990-2015. Berdasarkan hal itu Indonesia mempunyai
komitmen untuk menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 102/100.000 KH, Angka Kematian
Bayi dari 68 menjadi 23/1.000 KH, dan Angka  Kematian Balita 97 menjadi 32/1.000 KH pada
tahun 2015.
Penyebab langsung kematian Ibu sebesar 90% terjadi pada saat persalinan dan segera
setelah persalinan (SKRT 2001). Penyebab langsung kematian Ibu adalah perdarahan (28%),
eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Penyebab tidak langsung kematian Ibu antara lain  Kurang
Energi Kronis/KEK pada kehamilan (37%) dan anemia pada kehamilan (40%). Kejadian anemia
pada ibu hamil ini akan meningkatkan risiko terjadinya kematian ibu dibandingkan dengan ibu
yang tidak anemia. Sedangkan berdasarkan laporan rutin PWS tahun 2007, penyebab langsung
kematian ibu adalah perdarahan (39%), eklampsia (20%), infeksi (7%) dan lain-lain (33%).
Menurut RISKESDAS 2007, penyebab kematian neonatal 0 – 6 hari adalah gangguan
pernafasan  (37%), prematuritas (34%), sepsis (12%), hipotermi (7%), kelainan darah/ikterus
(6%), postmatur (3%) dan kelainan kongenital (1%). Penyebab kematian neonatal 7 – 28 hari
adalah sepsis (20,5%), kelainan kongenital (19%), pneumonia (17%),  Respiratori Distress
Syndrome/RDS (14%), prematuritas (14%), ikterus (3%), cedera lahir (3%), tetanus (3%),
defisiensi nutrisi (3%) dan  Suddenly Infant Death Syndrome/SIDS (3%). Penyebab kematian
bayi (29 hari  –  1 tahun) adalah diare (42%), pneumonia (24%), meningitis/ensefalitis (9%),
kelainan saluran cerna (7%), kelainan jantung kongenital dan hidrosefalus (6%), sepsis (4%),
tetanus (3%) dan lain-lain (5%). Penyebab kematian balita (1 – 4 tahun) adalah diare (25,2%),
pneumonia (15,5%),  Necrotizing Enterocolitis E.Coli/NEC (10,7%), meningitis/ensefalitis
(8,8%), DBD (6,8%), campak (5,8%), tenggelam (4,9%) dan lain-lain (9,7%).
Upaya untuk mempercepat penurunan AKI telah dimulai sejak akhir tahun 1980-an
melalui program Safe Motherhood Initiative  yang mendapat perhatian besar dan dukungan
dari berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. Pada akhir tahun 1990-an secara
konseptual telah diperkenalkan lagi upaya untuk menajamkan strategi dan intervensi dalam
menurunkan AKI melalui  Making Pregnancy Safer (MPS)  yang dicanangkan oleh
pemerintah pada tahun 2000. Sejak tahun 1985 pemerintah merancang  Child Survival (CS)
untuk penurunan AKB. Kedua Strategi tersebut diatas telah  sejalan dengan Grand Strategi
DEPKES tahun 2004.
Rencana Strategi  Making Pregnancy Safer (MPS)  terdiri dari 3 pesan kunci dan 4
strategi.
Tiga pesan kunci MPS adalah :
1.  Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
2.  Setiap komplikasi obsetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat.
3.  Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap upaya pencegahan kehamilan yang
tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
Empat strategi MPS adalah :
1.  Peningkatan kualitas dan akses pelayanan  kesehatan Ibu dan Bayi dan Balita di tingkat
dasar dan rujukan.
2.  Membangun kemitraan yang efektif.
3.  Mendorong pemberdayaan perempuan, keluarga dan masyarakat.
4.  Meningkatkan Sistem Surveilans, Pembiayaan, Monitoring dan informasi KIA.
Rencana Strategi Child Survival (CS) terdiri dari 3 pesan kunci dan 4 strategi.
Tiga pesan kunci CS adalah:
1.  Setiap bayi dan balita memperoleh pelayanan kesehatan dasar paripurna.
2.  Setiap bayi dan balita sakit ditangani secara adekuat.
3.  Setiap bayi dan balita tumbuh dan berkembang secara optimal.
Empat strategi CS adalah:
1.  Peningkatan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita yang
berkualitas berdasarkan bukti ilmiah
2.  Membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektor dan
mitra lainnya dalam melakukan advokasi untuk memaksimalkan sumber daya yang tersedia
serta memantapkan koordinasi perencanaan kegiatan MPS dan child survival.
3.  Mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui kegiatan peningkatan pengetahuan
untuk menjamin perilaku yang menunjang kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita serta
pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tersedia.
4.  Mendorong keterlibatan masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita.
Sehubungan dengan  penerapan sistim desentralisasi dan memperhatikan PP 38/2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan PP 41/2007 tentang Struktur Organisasi Pemerintah di
Daerah,  maka pelaksanaan strategi MPS di daerahpun diharapkan dapat lebih terarah dan
sesuai dengan permasalahan setempat. Dengan adanya variasi antar daerah dalam hal
demografi dan geografi maka kegiatan dalam program  Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)  perlu
disesuaikan.
Agar pelaksanaan program KIA dapat berjalan lancar, aspek peningkatan mutu
pelayanan program KIA tetap diharapkan menjadi kegiatan prioritas ditingkat Kabupaten/Kota.
Peningkatan mutu program KIA juga dinilai dari besarnya cakupan program di masing-masing
wilayah kerja. Untuk itu, besarnya cakupan pelayanan KIA di suatu wilayah kerja perlu dipantau
secara terus menerus, agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai kelompok mana dalam
wilayah kerja tersebut yang paling rawan. Dengan diketahuinya lokasi rawan kesehatan ibu dan
anak, maka wilayah kerja tersebut dapat lebih diperhatikan dan dicarikan pemecahan
masalahnya. Untuk memantau cakupan pelayanan KIA tersebut dikembangkan sistem
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA).
B. Pengertian
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA)  adalah
alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara terus
menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA yang dimaksud
meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga
berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi, dan balita. Kegiatan PWS
KIA terdiri dari pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan
informasi ke penyelenggara program dan pihak/instansi terkait dan tindak lanjut.
Definisi dan kegiatan PWS tersebut sama dengan definisi Surveilens. Menurut WHO,
Surveilens adalah suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai  dari kegiatan
mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan
landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan surveilens dalam kesehatan ibu dan anak
adalah dengan melaksanakan PWS KIA.
Dengan PWS KIA diharapkan cakupan pelayanan dapat ditingkatkan dengan
menjangkau seluruh sasaran di suatu wilayah kerja. Dengan terjangkaunya seluruh sasaran
maka diharapkan seluruh kasus dengan faktor risiko atau komplikasi dapat ditemukan sedini
mungkin agar dapat memperoleh penanganan yang memadai.
Penyajian PWS KIA juga dapat dipakai sebagai alat advokasi, informasi dan komunikasi
kepada sektor terkait, khususnya  lintas sektor  setempat yang berperan dalam pendataan dan
penggerakan sasaran. Dengan demikian PWS KIA dapat digunakan untuk memecahkan
masalah teknis dan non teknis. Pelaksanaan PWS KIA  harus  ditindaklanjuti dengan upaya
perbaikan dalam pelaksanaan pelayanan KIA, intensifikasi manajemen program, penggerakan
sasaran dan sumber daya yang diperlukan dalam rangka meningkatkan jangkauan dan mutu
pelayanan KIA. Hasil analisis PWS KIA di tingkat puskesmas dan kabupaten/kota dapat
digunakan untuk menentukan puskesmas dan desa/kelurahan yang rawan. Demikian pula hasil
analisis PWS KIA di tingkat propinsi dapat digunakan untuk menentukan kabupaten/kota yang
rawan.
C. Tujuan
Tujuan umum :
Terpantaunya cakupan dan mutu pelayanan KIA secara terus-menerus di setiap wilayah kerja.
Tujuan Khusus :
1.  Memantau pelayanan KIA secara Individu melalui Kohort
2.  Memantau kemajuan pelayanan KIA dan cakupan indikator KIA secara teratur (bulanan)
dan terus menerus.
3.  Menilai kesenjangan pelayanan KIA terhadap standar pelayanan KIA.
4.  Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator KIA terhadap target yang ditetapkan.
5.  Menentukan sasaran individu dan wilayah prioritas yang akan ditangani secara intensif
berdasarkan besarnya kesenjangan.
6.  Merencanakan tindak lanjut dengan menggunakan sumber daya  yang tersedia dan yang
potensial untuk digunakan.
7.  Meningkatkan peran  lintas sektor  setempat dalam penggerakan sasaran dan mobilisasi
sumber daya.
8.  Meningkatkan peran serta dan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan KIA.

Buku PWS KIA Bab 2


Buku PWS BAB II


BAB II
PRINSIP PENGELOLAAN PROGRAM KIA
Pengelolaan program KIA bertujuan memantapkan dan meningkatkan jangkauan serta
mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Pemantapan pelayanan KIA dewasa ini
diutamakan pada kegiatan pokok sebagai berikut :
1.  Peningkatan pelayanan antenatal sesuai standar bagi seluruh ibu hamil di semua fasilitas
kesehatan.
2.  Peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan kompeten diarahkan ke
fasilitas kesehatan.
3.  Peningkatan pelayanan bagi seluruh ibu nifas sesuai standar di semua fasilitas kesehatan.
4.  Peningkatan pelayanan bagi seluruh neonatus sesuai standar di semua fasilitas kesehatan
ataupun melalui kunjungan rumah.
5.  Peningkatan deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh tenaga
kesehatan maupun masyarakat.
6.  Peningkatan penanganan komplikasi kebidanan dan neonatus secara adekuat dan
pengamatan secara terus-menerus oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.
7.  Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh bayi sesuai standar di semua fasilitas
kesehatan.
8.  Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh anak balita sesuai standar di semua
fasilitas kesehatan.
9.  Peningkatan pelayanan KB sesuai standar.
A. Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk ibu
selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang
ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK). Pelayanan antenatal sesuai standar
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin
dan khusus, serta intervensi umum dan khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam
pemeriksaan). Dalam penerapannya terdiri atas:
1.  Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
2.  Ukur tekanan darah.
3.  Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas).
4.  Ukur tinggi fundus uteri.
5.  Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ).
6.  Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi  Tetanus Toksoid (TT)  bila
diperlukan.
7.  Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan.
8.  Test laboratorium (rutin dan khusus).
9.  Tatalaksana kasus
10.  Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
(P4K) serta KB pasca persalinan.
Pemeriksaan laboratorium rutin  mencakup pemeriksaan golongan darah, hemoglobin,
protein urine dan gula darah puasa. Pemeriksaan khusus dilakukan di daerah prevalensi tinggi
dan atau kelompok ber-risiko, pemeriksaan yang dilakukan adalah hepatitis B, HIV, Sifilis,
malaria, tuberkulosis, kecacingan dan thalasemia.
Dengan demikian maka secara operasional, pelayanan antenatal disebut lengkap apabila
dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi standar tersebut. Ditetapkan pula bahwa
frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan
waktu pemberian pelayanan yang dianjurkan sebagai berikut :
-  Minimal 1 kali pada triwulan pertama.
-  Minimal 1 kali pada triwulan kedua.
-  Minimal 2 kali pada triwulan ketiga.
Standar waktu pelayanan antenatal tersebut  dianjurkan untuk menjamin perlindungan
kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan penanganan komplikasi.
Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan antenatal
kepada Ibu hamil adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan perawat.
B. Pertolongan Persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan yang aman
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Pada kenyataan di lapangan, masih
terdapat penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan dilakukan di luar fasilitas
pelayanan kesehatan.  Oleh karena itu secara bertahap seluruh persalinan akan ditolong oleh
tenaga kesehatan kompeten dan diarahkan ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.  Pencegahan infeksi
2.  Metode pertolongan persalinan yang sesuai standar.
3.  Manajemen aktif kala III
4.  Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi.
5.  Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
6.  Memberikan Injeksi Vit K 1 dan salep mata pada bayi baru lahir.
Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan pertolongan
persalinan adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter dan bidan.
C. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas
Pelayanan  kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu
mulai 6 jam sampai 42 hari pasca bersalin oleh tenaga kesehatan. Untuk deteksi dini komplikasi
pada ibu nifas diperlukan pemantauan pemeriksaan terhadap ibu nifas dengan melakukan
kunjungan nifas minimal sebanyak 3 kali dengan ketentuan waktu :
  Kunjungan nifas pertama pada masa 6 jam sampai dengan 3 hari setelah
persalinan.
  Kunjungan nifas ke dua dalam waktu 2 minggu setelah persalinan (8  –  14
hari).
  Kunjungan nifas ke tiga dalam waktu  6 minggu setelah persalinan (36  –  42
hari).
Pelayanan yang diberikan adalah :
1.  Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu.
2.  Pemeriksaan tinggi fundus uteri (involusi uterus).
3.  Pemeriksaan lokhia dan pengeluaran per vaginam lainnya.
4.  Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI eksklusif 6 bulan.
5.  Pemberian kapsul Vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali , pertama segera setelah
melahirkan, kedua diberikan setelah 24 jam pemberian kapsul Vitamin A pertama.
6.  Pelayanan KB pasca salin
Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan ibu nifas adalah
: dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan perawat.
D. Pelayanan Kesehatan Neonatus
Pelayanan kesehatan neonatus adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang
diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonatus sedikitnya 3 kali, selama
periode 0 sampai dengan 28 hari setelah lahir, baik di fasilitas kesehatan maupun melalui
kunjungan rumah.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan neonatus :
1.  Kunjungan Neonatal ke-1 (KN 1) dilakukan pada kurun waktu 6 –  48 Jam setelah lahir.
2.  Kunjungan Neonatal  ke-2 (KN 2) dilakukan pada kurun waktu hari ke 3 sampai dengan hari
ke 7 setelah lahir.
3.  Kunjungan Neonatal  ke-3 (KN 3) dilakukan pada kurun waktu hari ke 8 sampai dengan hari
ke 28 setelah lahir.
Kunjungan neonatal  bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap pelayanan
kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan/masalah kesehatan pada
neonatus. Risiko terbesar kematian neonatus terjadi pada 24 jam pertama kehidupan, minggu
pertama dan bulan pertama kehidupannya. Sehingga jika bayi lahir di fasilitas kesehatan sangat
dianjurkan untuk tetap tinggal di fasilitas kesehatan selama 24 jam pertama.
Pelayanan Kesehatan Neonatal dasar dilakukan secara komprehensif dengan melakukan
pemeriksaan dan perawatan Bayi baru Lahir dan pemeriksaan menggunakan pendekatan
Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM)  untuk memastikan bayi dalam  keadaan sehat, yang
meliputi :
1.  Pemeriksaan Bayi Baru Lahir
  Anamnesis
  Pemeriksaan Fisis :
-  Lihat postur, tonus, dan aktifitas bayi.
-  Lihat pada kulit bayi.
-  Hitung pernafasan dan lihat tarikan dinding dada ketika bayi sedang tidak menangis.
-  Hitung detak  jantung dengan stetoskop. Stetoskop diletakkan pada dada kiri bayi
setinggi apeks.
-  Lakukan pengukuran suhu ketiak dengan termometer.
-  Lihat dan raba bagian kepala.
-  Lihat pada mata.
-  Lihat bagian dalam mulut (lidah, selaput lendir)
Jika bayi menangis, masukkan satu jari yang menggunakan sarung tangan ke dalam
dan raba langit-langit.
-  Lihat dan raba pada bagian perut
Lihat pada tali pusat.
Lihat pada punggung dan raba tulang belakang.
-  Lihat pada lubang anus, hindari untuk memasukkan alat atau jari dalam melakukan
pemeriksaan anus.
-  Tanyakan pada ibu apakah bayi sudah buang air besar.
-  Lihat dan raba pada alat kelamin bagian luar.
Tanyakan pada ibu apakah bayi sudah buang air kecil.
-  Timbang bayi.
Timbang bayi dengan menggunakan selimut, hasil timbangan dikurangi selimut.
-  Mengukur panjang dan lingkar kepala bayi.
Jelaskan cara dan alat.
-  Menilai cara menyusui, minta ibu untuk menyusui bayinya.
2.  Pemeriksaan menggunakan pendekatan MTBM
  Pemeriksaan tanda bahaya seperti kemungkinan infeksi bakteri, ikterus, diare,  berat
badan rendah dan Masalah pemberian ASI.
  Pemberian Vitamin K1, Imunisasi Hepatitis B-0 bila belum diberikan pada waktu
perawatan bayi baru lahir
  Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk memberikan ASI eksklusif, pencegahan
hipotermi dan melaksanakan  perawatan bayi baru lahir di rumah termasuk perawatan
tali pusat dengan menggunakan Buku KIA.
  Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan.
Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan neonatus adalah
: dokter spesialis anak, dokter, bidan dan perawat.
E.  Deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh tenaga
kesehatan maupun masyarakat.
Deteksi dini kehamilan dengan faktor risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk
menemukan ibu hamil yang mempunyai faktor risiko dan komplikasi kebidanan. Kehamilan
merupakan proses reproduksi yang normal , tetapi tetap mempunyai risiko untuk terjadinya
komplikasi. Oleh karenanya deteksi dini oleh tenaga kesehatan dan masyarakat tentang adanya
faktor risiko dan komplikasi, serta penanganan yang adekuat sedini mungkin, merupakan kunci
keberhasilan dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi yang dilahirkannya.
Faktor risiko pada ibu hamil adalah :
1.  Primigravida kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
2.  Anak lebih dari 4.
3.  Jarak persalinan terakhir dan kehamilan sekarang kurang dari 2 tahun.
4.  Kurang Energi Kronis (KEK)  dengan lingkar lengan atas kurang  dari 23,5 cm, atau
penambahan berat badan < 9 kg selama masa kehamilan.
5.  Anemia dengan dari Hemoglobin < 11 g/dl.
6.  Tinggi badan kurang dari 145 cm, atau dengan kelainan bentuk panggul dan tulang
belakang
7.  Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya atau sebelum kehamilan ini.
8.  Sedang/pernah menderita penyakit kronis, antara lain : tuberkulosis, kelainan jantung-ginjal-hati, psikosis, kelainan endokrin (Diabetes Mellitus, Sistemik Lupus Eritematosus, dll),
tumor dan keganasan
9.  Riwayat kehamilan buruk: keguguran  berulang, kehamilan ektopik terganggu, mola
hidatidosa, ketuban pecah dini, bayi dengan cacat kongenital
10.  Riwayat persalinan dengan komplikasi : persalinan dengan seksio sesarea, ekstraksivakum/
forseps.
11.  Riwayat nifas dengan komplikasi : perdarahan paska persalinan, Infeksi masa nifas, psikosis
post partum (post partum blues).
12.  Riwayat keluarga menderita penyakit kencing manis, hipertensi dan riwayat cacat
kongenital.
13.  Kelainan jumlah janin : kehamilan ganda, janin dampit, monster.
14.  Kelainan besar janin : pertumbuhan janin terhambat, Janin besar.
15.  Kelainan letak dan posisi janin: lintang/oblique, sungsang pada usia kehamilan lebih dari 32
minggu.
Catatan : penambahan berat badan ibu hamil yang normal adalah 9 – 12 kg selama
masa kehamilan
Komplikasi pada ibu hamil, bersalin dan nifas antara lain :
1.  Ketuban pecah dini.
2.  Perdarahan pervaginam :
  Ante Partum : keguguran, plasenta previa, solusio plasenta
  Intra Partum : robekan jalan lahir
  Post Partum : atonia uteri, retensio plasenta, plasenta inkarserata, kelainan pembekuan
darah, subinvolusi uteri
3.  Hipertensi dalam Kehamilan (HDK): Tekanan darah tinggi (sistolik > 140 mmHg, diastolik >
90 mmHg), dengan atau tanpa edema pre-tibial.
4.  Ancaman persalinan prematur.
5.  Infeksi berat dalam kehamilan : demam berdarah, tifus abdominalis, Sepsis.
6.  Distosia: Persalinan macet, persalinan tak maju.
7.  Infeksi masa nifas.
Sebagian besar kematian ibu dapat dicegah apabila mendapat penanganan yang
adekuat di fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor waktu dan transportasi merupakan hal yang
sangat menentukan dalam merujuk kasus risiko tinggi. Oleh karenanya Deteksi faktor risiko
pada ibu baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat merupakan salah satu upaya penting
dalam mencegah kematian dan kesakitan ibu.
Faktor risiko pada neonatus adalah sama dengan faktor risiko pada ibu hamil. Ibu hamil
yang memiliki faktor risiko akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi pada neonatus.
Deteksi dini untuk Komplikasi pada Neonatus dengan melihat tanda-tanda atau gej ala-gejala
sebagai berikut :
1.  Tidak Mau Minum/menyusu atau memuntahkan semua
2.  Riwayat Kejang
3.  Bergerak hanya jika dirangsang/Letargis
4.  Frekwensi Napas < = 30 X/menit dan >= 60x/menit
5.  Suhu tubuh <= 35,5 C dan >= 37,5 C
6.  Tarikan dinding dada ke dalam yang sangat kuat
7.  Merintih
8.  Ada pustul Kulit
9.  Nanah banyak di mata
10.  Pusar kemerahan meluas ke dinding perut.
11.  Mata cekung dan cubitan kulit perut kembali sangat lambat
12.  Timbul kuning dan atau tinja berwarna pucat
13.  Berat badan menurut umur rendah dan atau ada masalah pemberian ASI
14.  BBLR : Bayi Berat Lahir Rendah < 2500 gram
15.  Kelainan Kongenital seperti ada celah di bibir dan langit-langit.
Komplikasi pada neonatus antara lain :
1.  Prematuritas dan BBLR (bayi berat lahir rendah < 2500 gr)
2.  Asfiksia
3.  Infeksi Bakteri
4.  Kejang
5.  Ikterus
6.  Diare
7.  Hipotermia
8.  Tetanus neonatorum
9.  Masalah pemberian ASI
10.  Trauma lahir, sindroma gangguan pernapasan, kelainan kongenital, dll.
F. Penanganan Komplikasi Kebidanan
Penanganan komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu dengan komplikasi
kebidanan untuk mendapat penanganan definitif sesuai standar oleh tenaga kesehatan
kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan. Diperkirakan sekitar 15-20 % ibu hamil
akan mengalami komplikasi kebidanan. Komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak selalu
dapat diduga sebelumnya, oleh karenanya semua persalinan harus ditolong oleh tenaga
kesehatan agar komplikasi kebidanan dapat segera dideteksi dan ditangani.
Untuk meningkatkan cakupan dan kualitas penanganan komplikasi kebidanan maka
diperlukan adanya fasilititas pelayanan kesehatan yang mampu memberikan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi secara berjenjang mulai dari bidan, puskesmas mampu PONED sampai
rumah sakit PONEK 24 jam.
Pelayanan medis yang dapat dilakukan di Puskesmas mampu PONED meliputi :
1.  Pelayanan obstetri :
a.  Penanganan perdarahan pada kehamilan, persalinan dan nifas.
b.  Pencegahan dan penanganan Hipertensi dalam Kehamilan (pre-eklampsi dan eklampsi)
c.  Pencegahan dan penanganan infeksi.
d.  Penanganan partus lama/macet.
e.  Penanganan abortus.
f.  Stabilisasi komplikasi obstetrik untuk dirujuk dan transportasi rujukan.
2.  Pelayanan neonatus :
a.  Penanganan asfiksia bayi baru lahir.
b.  Penanganan bayi berat lahir rendah (BBLR).
  Hipotermi
  Hipoglikemia
  Ikterus
  Masalah pemberian minum
c.  Penanganan gangguan nafas.
d.  Penanganan kejang.
e.  Penanganan infeksi neonatus.
f.  Rujukan dan transportasi bayi baru lahir.
g.  Persiapan umum sebelum tindakan kegawatdaruratan neonatus
G.  Pelayanan neonatus dengan komplikasi
Pelayanan Neonatus dengan komplikasi adalah penanganan neonatus  dengan penyakit
dan kelainan yang dapat menyebabkan kesakitan, kecacatan dan kematian oleh
dokter/bidan/perawat terlatih di polindes, puskesmas, puskesmas PONED, rumah bersalin dan
rumah sakit pemerintah/swasta.
Diperkirakan sekitar 15% dari bayi lahir hidup akan mengalami komplikasi neonatal.
Hari Pertama kelahiran bayi sangat penting, oleh karena banyak perubahan yang terjadi pada
bayi dalam menyesuaikan diri dari kehidupan di dalam rahim kepada kehidupan di luar rahim.
Bayi baru lahir yang mengalami gejala sakit dapat cepat memburuk, sehingga bila tidak
ditangani dengan adekuat dapat terjadi kematian. Kematian bayi sebagian besar terjadi pada
hari pertama, minggu pertama kemudian bulan pertama kehidupannya.
Faktor resiko pada neonatus akan meningkatkan  resiko terjadinya komplikasi, deteksi
dini untuk Komplikasi pada Neonatus dengan melihat tanda-tanda atau gejala-gejala sebagai
berikut :
1.  Tidak mau minum/ menyusu atau memuntahkan semua
2.  Riwayat kejang
3.  Bergerak hanya jika dirangsang / Letargis.
4.  Frekwensi napas ≤ 30 x/menit dan ≥ 60 x/menit.
5.  Suhu tubuh  ≤ 35,5°C dan ≥ 37,5°C
6.  Tarikan dinding dada ke dalam yang sangat kuat.
7.  Merintih.
8.  Ada pustule kulit.
9.  Nanah banyak di mata.
10.  Pusar kemerahan meluas ke dinding perut.
11.  Mata cekung dan cubitan kulit perut kembali sangat lambat.
12.  Timbul kuning dan atau tinja berwarna pucat.
13.  Berat badan menurut umur rendah dan atau ada masalah pemberian ASI.
14.  BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah < 2500 gram)
15.  Kelainan Kongenital seperti ada celah di bibir dan langit-langit.
Komplikasi pada neonatus antara lain :
1.  Asfiksia bayi baru lahir.
2.  Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
  Hipotermi
  Hipoglikemia
  Ikterus
  Masalah pemberian minum
3.  Gangguan napas
4.  Kejang
5.  Infeksi Neonatus
6.  Klasifikasi dalam MTBM :
  Infeksi bakteri (termasuk klasifikasi Infeksi Bakteri  Lokal dan Penyakit Sangat Berat
atau Infeksi Bakteri Berat)
  Ikterus (termasuk klasifikasi Ikterus Berat dan Ikterus)
  Diare (termasuk klasifikasi Diare Dehidrasi Berat dan Diare Dehidrasi Ringan/Sedang)
  Berat badan rendah menurut umur dan atau masalah pemberian ASI.
  Trauma lahir, sindroma gangguan pernapasan, kelainan kongenital, dll.
Kebijakan Departemen Kesehatan dalam peningkatan akses dan kualitas penanganan
komplikasi neonatus tersebut antara lain penyediaan puskesmas mampu PONED dengan target
setiap kabupaten/kota harus mempunyai minimal 4 (empat) puskesmas mampu PONED.
Puskesmas  PONED adalah puskesmas rawat inap yang memiliki kemampuan serta
fasilitas PONED siap 24 jam untuk memberikan pelayanan terhadap ibu hamil, bersalin dan
nifas serta kegawatdaruratan bayi baru lahir dengan komplikasi baik yang datang sendiri atau
atas rujukan kader/masyarakat, bidan di desa, Puskesmas dan melakukan rujukan ke RS/RS
PONEK pada kasus yang tidak mampu ditangani.
Untuk mendukung puskesmas mampu PONED ini, diharapkan RSU Kabupaten/Kota
mampu melaksanakan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi  komprehensif (PONEK) yang
siap selama 24 jam. Dalam PONEK, RSU harus mampu melakukan pelayanan emergensi dasar
dan pelayanan operasi seksio sesaria, perawatan  neonatus level II serta transfusi darah.
Dengan adanya puskesmas mampu PONED dan RS mampu PONEK maka kasus – kasus
komplikasi kebidanan dan neonatal dapat ditangani secara optimal sehingga dapat mengurangi
kematian ibu dan neonatus.
H. Pelayanan Kesehatan Bayi
Pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan
oleh tenaga kesehatan kepada bayi sedikitnya 4 kali, selama periode 29 hari sampai dengan 11
bulan setelah lahir.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan bayi :
1. Kunjungan bayi satu kali pada umur 29 hari – 2 bulan.
2. Kunjungan bayi satu kali pada umur 3 – 5 bulan.
3. Kunjungan bayi satu kali pada umur 6 – 8 bulan.
4. Kunjungan bayi satu kali pada umur 9 – 11 bulan.
Kunjungan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi terhadap pelayanan
kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan pada bayi  sehingga cepat
mendapat pertolongan, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pemantauan
pertumbuhan, imunisasi, serta peningkatan kualitas hidup bayi dengan stimulasi tumbuh
kembang. Dengan demikian hak anak mendapatkan pelayanan kesehatan terpenuhi. Pelayanan
kesehatan tersebut meliputi :
  Pemberian imunisasi dasar lengkap (BCG, Polio 1,2,3,4, DPT/HB 1,2,3, Campak) sebelum
bayi berusia 1 tahun.
  Stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang bayi (SDIDTK).
  Pemberian vitamin A 100.000 IU (6 - 11 bulan).
  Konseling ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI, tanda  –  tanda sakit dan
perawatan kesehatan bayi di rumah menggunakan Buku KIA.
  Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan.
Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan bayi  adalah :
dokter spesialis anak, dokter, bidan , perawat dibantu oleh tenaga kesehatan lainnya seperti
petugas gizi.
I. Pelayanan kesehatan anak balita
Lima tahun pertama kehidupan, pertumbuhan mental dan intelektual  berkembang
pesat. Masa ini  merupakan masa keemasan atau  golden period  dimana terbentuk dasar-dasar
kemampuan keindraan, berfikir, berbicara  serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif
dan awal pertumbuhan  moral. Pada masa ini stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan
fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan pengembangan otak.  Upaya  deteksi dini gangguan
pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia  dini menjadi sangat penting agar dapat
dikoreksi sedini mungkin dan atau mencegah gangguan ke arah yang lebih berat .
Bentuk pelaksanaan tumbuh kembang anak di lapangan dilakukan dengan mengacu
pada pedoman Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Tumbuh Kembang Anak (SDIDTK) yang
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan  di puskesmas dan jajarannya seperti dokter, bidan
perawat, ahli gizi, penyuluh kesehatan masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya yang peduli
dengan anak.
Kematian bayi dan balita merupakan salah satu parameter derajat kesejahteraan suatu
negara.  Sebagian besar penyebab kematian  bayi dan balita  dapat dicegah dengan teknologi
sederhana di tingkat pelayanan kesehatan dasar, salah satunya adalah dengan  menerapkan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS),  di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Bank
Dunia, 1993 melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang  cost effective  untuk
mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut (ISPA),
diare, campak, malaria, kurang gizi dan yang sering merupakan kombinasi dari keadaan
tersebut.
Sebagai upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian balita, Departemen
Kesehatan RI bekerja sama dengan WHO telah mengembangkan paket pelatihan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang mulai dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1996 dan
implementasinya dimulai 1997 dan saat ini telah mencakup 33 provinsi.
Pelayanan kesehatan anak balita meliputi pelayanan pada anak balita sakit dan sehat.
Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sesuai standar yang meliputi :
1.  Pelayanan pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali setahun yang tercatat dalam Buku
KIA/KMS.  Pemantauan pertumbuhan adalah pengukuran berat badan anak balita  setiap
bulan yang tercatat pada Buku KIA/KMS. Bila berat badan tidak naik dalam 2 bulan
berturut-turut atau berat badan anak balita di bawah garis merah harus dirujuk ke sarana
pelayanan kesehatan.
2.  Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK)  minimal 2 kali dalam
setahun.  Pelayanan SDIDTK meliputi pemantauan perkembangan motorik kasar, motorik
halus, bahasa, sosialisasi dan kemandirian minimal 2 kali pertahun (setiap 6 bulan).
Pelayanan SDIDTK diberikan di dalam gedung (sarana pelayanan kesehatan) maupun di
luar gedung.
3.  Pemberian Vitamin A dosis tinggi (200.000 IU), 2 kali dalam setahun.
4.  Kepemilikan dan pemanfaatan buku KIA oleh setiap anak balita
5.  Pelayanan anak balita sakit sesuai standar dengan menggunakan pendekatan MTBS.
J. Pelayanan KB Berkualitas
Pelayanan KB berkualitas adalah pelayanan KB sesuai standar dengan menghormati hak
individu dalam merencanakan kehamilan sehingga diharapkan dapat berkontribusi dalam
menurunkan angka kematian Ibu dan menurunkan tingkat fertilitas (kesuburan) bagi pasangan
yang telah cukup memiliki anak (2 anak lebih baik) serta meningkatkan fertilitas bagi pasangan
yang ingin mempunyai anak.
Pelayanan KB bertujuan untuk menunda (merencanakan) kehamilan. Bagi Pasangan
Usia Subur yang ingin menjarangkan dan/atau menghentikan kehamilan, dapat menggunakan
metode kontrasepsi yang meliputi :
  KB alamiah (sistem kalender, metode amenore laktasi, coitus interuptus).
  Metode KB hormonal (pil, suntik, susuk).
  Metode KB non-hormonal (kondom, AKDR/IUD, vasektomi dan tubektomi).
Sampai saat ini di Indonesia cakupan peserta KB aktif  (Contraceptive Prevalence
Rate/CPR)  mencapai 61,4% (SDKI 2007) dan angka ini merupakan pencapaian  yang cukup
tinggi diantara negara-negara ASEAN. Namun demikian metode yang  dipakai lebih banyak
menggunakan metode jangka pendek seperti pil dan  suntik. Menurut data SDKI 2007 akseptor
KB yang menggunakan suntik sebesar 31,6%, pil 13,2 %, AKDR 4,8%, susuk 2,8%, tubektomi
3,1%, vasektomi 0,2% dan kondom 1,3%. Hal ini terkait dengan tingginya angka putus
pemakaian (DO) pada metode jangka pendek sehingga perlu pemantauan yang terus menerus.
Disamping itu pengelola program KB perlu memfokuskan sasaran pada kategori PUS dengan “4
terlalu” (terlalu muda, tua, sering dan banyak).
Untuk mempertahankan dan meningkatkan cakupan peserta KB perlu diupayakan
pengelolaan program yang berhubungan dengan peningkatan aspek kualitas, teknis dan aspek
manajerial pelayanan KB. Dari aspek kualitas perlu diterapkan pelayanan yang sesuai standard
dan variasi pilihan metode KB, sedangkan dari segi teknis perlu dilakukan pelatihan klinis dan
non-klinis secara berkesinambungan. Selanjutnya aspek manajerial, pengelola program KB
perlu melakukan revitalisasi dalam segi analisis situasi program KB dan sistem pencatatan dan
pelaporan pelayanan KB.
Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan KB  kepada masyarakat
adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan perawat.

Buku PWS KIA Bab 3


BUKU PWS BAB III 


BAB III
INDIKATOR PEMANTAUAN
Indikator pemantauan program KIA yang dipakai untuk PWS KIA meliputi indikator yang
dapat menggambarkan keadaan kegiatan pokok dalam program KIA, seperti yang diuraikan
dalam BAB II.
Sasaran yang digunakan dalam PWS KIA  berdasarkan kurun waktu 1 tahun dengan
prinsip konsep wilayah (misalnya: Untuk provinsi memakai sasaran provinsi, untuk kabupaten
memakai sasaran kabupaten).
1. Akses pelayanan antenatal (cakupan K1)
Adalah cakupan ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan antenatal oleh tenaga
kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Indikator akses ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal serta
kemampuan program dalam menggerakkan masyarakat.
Rumus yang dipakai untuk perhitungannya adalah :
Jumlah ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan antenatal oleh tenaga kesehatan
disuatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
Jumlah sasaran ibu hamil disuatu wilayah kerja dalam 1 tahun
Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun dapat diperoleh melalui  Proyeksi,  dihitung
berdasarkan perkiraan jumlah ibu hamil dengan menggunakan rumus :
1,10 X angka kelahiran kasar (CBR) X jumlah penduduk
Angka kelahiran kasar (CBR) yang digunakan adalah angka terakhir CBR kabupaten/kota yang
diperoleh dari kantor perwakilan Badan Pusat Statistik (BPS) di kabupaten/kota. Bila angka CBR
kabupaten/kota tidak ada maka dapat digunakan angka terakhir CBR propinsi. CBR propinsi
dapat diperoleh juga dari buku Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan
2007 – 2011 (Pusat Data Kesehatan Depkes RI, tahun 2007).
Contoh :  untuk menghitung perkiraan jumlah ibu hamil di desa/kelurahan X di
kabupaten Y yang mempunyai penduduk sebanyak 2 .000 jiwa dan angka CBR terakhir
kabupaten Y 27,0/1.000 penduduk, maka :
X 100
Jumlah ibu hamil = 1,10 X 0,027 x 2.000 = 59,4.
Jadi sasaran ibu hamil di desa/kelurahan X adalah 59 orang.
1.  Cakupan pelayanan ibu hamil (cakupan K4)
Adalah cakupan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan
standar, paling sedikit empat kali dengan distribusi waktu 1 kali pada trimester ke-1, 1 kali
pada trimester ke-2 dan 2 kali pada trimester ke-3 disuatu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu.
Dengan indikator ini dapat diketahui cakupan pelayanan antenatal secara lengkap
(memenuhi standar pelayanan dan menepati waktu yang ditetapkan), yang menggambarkan
tingkat perlindungan ibu hamil di suatu wilayah, di samping menggambarkan kemampuan
manajemen ataupun kelangsungan program KIA.
Rumus yang dipergunakan adalah :
Jumlah ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali sesuai standar
oleh tenaga kesehatan disuatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
Jumlah sasaran ibu hamil disuatu wilayah dalam 1 tahun
2.  Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn)
Adalah cakupan ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan, di suatu wilayah kerja  dalam kurun waktu
tertentu.
Dengan indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga
kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam pertolongan
persalinan sesuai standar.
Rumus yang digunakan sebagai berikut :
Jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten disuatu wilayah
kerja pada kurun waktu tertentu
Jumlah sasaran ibu bersalin disuatu wilayah kerja dalam 1 tahun
Jumlah sasaran ibu bersalin dalam 1 tahun dihitung dengan  menggunakan rumus :
X 100
X 100
1,05 X angka kelahiran kasar (CBR) X jumlah penduduk
Contoh  :  untuk menghitung perkiraan jumlah ibu bersalin di desa/kelurahan X di
kabupaten Y yang mempunyai penduduk sebanyak 2.000 penduduk dan angka CBR terakhir
kabupaten Y 27,0/1.000 penduduk maka :
Jumlah ibu bersalin = 1,05 X 0,027 x 2.000 = 56,7.
Jadi sasaran ibu bersalin di desa/kelurahan X adalah 56 orang.
4. Cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan (KF3)
Adalah cakupan pelayanan kepada ibu pada masa 6 jam sampai dengan 42 hari pasca
bersalin sesuai standar paling sedikit 3 kali dengan distribusi waktu 6 jam – 3 hari, 8 –  14 hari
dan 36 – 42 hari setelah bersalin di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Dengan indikator ini dapat diketahui cakupan pelayanan nifas secara lengkap
(memenuhi standar pelayanan dan menepati waktu yang ditetapkan), yang menggambarkan
jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu nifas, di samping menggambarkan
kemampuan manajemen ataupun kelangsungan program KIA.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
Jumlah ibu nifas yang telah memperoleh 3 kali pelayanan nifas sesuai standar oleh
tenaga kesehatan disuatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
Jumlah sasaran ibu nifas di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
Jumlah sasaran ibu nifas sama dengan jumlah sasaran ibu bersalin.
5.  Cakupan pelayanan neonatus pertama (KN 1)
Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar pada 6 - 48 jam
setelah lahir di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Dengan indikator ini dapat diketahui akses/jangkauan pelayanan kesehatan neonatal.
Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut :
Jumlah neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar pada 6 – 48 jam
setelah lahir di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
X 100
X 100
Jumlah seluruh sasaran bayi di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
Jumlah sasaran bayi bisa didapatkan dari perhitungan berdasarkan jumlah perkiraan
(angka proyeksi) bayi dalam satu wilayah tertentu dengan menggunakan rumus sebagai berikut
:
Jumlah sasaran bayi = Crude Birth Rate x jumlah penduduk
Contoh :  untuk menghitung jumlah perkiraan bayi di suatu desa Z di Kota Y Propinsi X
yang mempunyai penduduk sebanyak 1.500 jiwa dan angka CBR terakhir Kota Y 24,8/1.000
penduduk, maka :
Jumlah bayi = 0,0248 x 1500 = 37,2.
Jadi sasaran bayi di desa Z adalah 37 bayi.
6.  Cakupan pelayanan neonatus Lengkap (KN Lengkap).
Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar sedikitnya  tiga
kali  yaitu  1 kali pada 6 –  48 jam, 1 kali pada hari ke 3 –  hari ke 7 dan 1 kali pada hari ke 8 –
hari ke 28 setelah lahir disuatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Dengan indikator ini dapat diketahui efektifitas dan kualitas pelayanan kesehatan
neonatal.
Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut :
Jumlah neonatus yang telah memperoleh 3 kali pelayanan kunjungan neonatal
sesuai standar di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
Jumlah seluruh sasaran bayi di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
7.  Deteksi faktor risiko dan komplikasi oleh Masyarakat
Adalah cakupan ibu hamil dengan faktor risiko atau komplikasi yang ditemukan oleh
kader atau dukun bayi atau masyarakat serta dirujuk ke tenaga kesehatan di suatu wilayah
kerja pada kurun  waktu tertentu. Masyarakat disini, bisa keluarga ataupun ibu hamil, bersalin,
nifas itu sendiri.
Indikator ini menggambarkan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam
mendukung upaya peningkatan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas.
Rumus yang dipergunakan :
X 100
Jumlah ibu hamil yang berisiko yang ditemukan kader atau dukun bayi atau masyarakat
di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
20% x jumlah sasaran ibu hamil di suatu wilayah dalam 1 tahun
8.  Cakupan Penanganan komplikasi Obstetri (PK)
Adalah cakupan Ibu dengan komplikasi kebidanan di suatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu yang ditangani secara definitif sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan
kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan.  Penanganan definitif adalah
penanganan/pemberian tindakan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan setiap kasus
komplikasi kebidanan.
Indikator ini mengukur kemampuan manajemen program KIA dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan secara professional kepada ibu hamil bersalin dan nifas dengan
komplikasi.
Rumus yang dipergunakan :
Jumlah komplikasi kebidanan yang mendapatkan penanganan definitif di suatu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
20% x jumlah sasaran ibu hamil di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
9.  Neonatus dengan komplikasi yang ditangani
Adalah cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani secara definitif oleh tenaga
kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan di suatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu. Penanganan definitif adalah pemberian tindakan akhir pada setiap kasus
komplikasi neonatus yang pelaporannya dihitung 1 kali pada masa neonatal. Kasus komplikasi
yang ditangani adalah seluruh kasus yang ditangani tanpa melihat hasilnya hidup atau mati.
Indikator ini menunjukkan kemampuan sarana pelayanan kesehatan dalam menangani
kasus  –  kasus kegawatdaruratan neonatal, yang kemudian ditindaklanjuti sesuai dengan
kewenangannya, atau dapat dirujuk ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi.
Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut :
Jumlah neonatus dengan komplikasi yang mendapat penanganan definitif di suatu
X 100
X 100
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
15 % x jumlah sasaran bayi di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
10.  Cakupan kunjungan bayi (29 hari – 11 bulan)
Adalah cakupan bayi yang mendapatkan pelayanan paripurna minimal 4 kali yaitu 1 kali
pada umur 29 hari  –  2 bulan, 1 kali pada umur 3  –  5 bulan, dan satu kali pada umur 6  –  8
bulan dan 1 kali pada umur 9  –  11 bulan sesuai standar  di suatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu.
Dengan indikator ini dapat diketahui efektifitas, continuum of care dan kualitas
pelayanan kesehatan bayi.
Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut :
Jumlah bayi yang telah memperoleh 4 kali pelayanan kesehatan sesuai standar
di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
Jumlah seluruh sasaran bayi di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
11.  Cakupan pelayanan anak balita (12 – 59 bulan).
Adalah cakupan anak balita (12  –  59 bulan) yang memperoleh pelayanan  sesuai
standar, meliputi pemantauan pertumbuhan minimal 8x setahun,  pemantauan perkembangan
minimal 2 x setahun, pemberian vitamin A 2 x setahun
Rumus yang digunakan adalah :
Jumlah anak balita yg memperoleh pelayanan sesuai standar disuatu wilayah kerja
pada kurun waktu tertentu
Jumlah seluruh anak balita disuatu wilayah kerja dalam 1 tahun
12.  Cakupan Pelayanan kesehatan anak balita sakit yang dilayani dengan MTBS
X 100
X 100
X 100
Adalah  cakupan anak balita (umur 12  –  59 bulan) yang berobat ke Puskesmas dan
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar (MTBS) di suatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu.
Rumus yang digunakan adalah :
Jumlah anak balita sakit yg memperoleh pelayanan sesuai tatalaksana MTBS di
Puskesmas di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
Jumlah seluruh anak balita sakit yang berkunjung ke Puskesmas disuatu wilayah
kerja dalam 1 tahun
Jumlah anak balita sakit diperoleh dari kunjungan balita  sakit yang datang ke
puskesmas (register rawat jalan di Puskesmas). Jumlah anak balita sakit yang mendapat
pelayanan standar diperoleh dari format pencatatan dan pelaporan MTBS
13.  Cakupan Peserta KB aktif (Contraceptive Prevalence Rate)
Adalah cakupan  dari peserta KB yang baru dan lama yang masih aktif menggunakan
alat dan obat kontrasepsi (alokon) dibandingkan dengan jumlah pasangan usia subur di suatu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Indikator ini menunjukkan jumlah peserta KB baru dan lama yang masih aktif memakai
alokon terus-menerus hingga saat ini untuk menunda, menjarangkan kehamilan atau yang
mengakhiri kesuburan.
Rumus yang dipergunakan:
Jumlah peserta KB aktif di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
Jumlah seluruh  PUS di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
X 100
X 100

Buku PWS KIA Bab 4


BUKU PWS Bab IV P1

Bab IV
PENGUMPULAN, PENCATATAN DAN
PENGOLAHAN DATA KIA
A. Pengumpulan Data
Pengumpulan dan pengelolaan data merupakan kegiatan pokok dari PWS KIA .Data yang dicatat per desa/kelurahan dan kemudian dikumpulkan ditingkat puskesmas
akan di laporkan sesuai jenjang administrasi. Data yang diperlukan dalam PWS KIA
adalah Data Sasaran dan Data Pelayanan .  Proses pengumpulan data sasaran sebagai
berikut :
1.  Jenis data
Data yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan PWS KIA adalah Data sasaran :
  Jumlah seluruh ibu hamil
  Jumlah seluruh ibu bersalin
  Jumlah ibu nifas
  Jumlah seluruh bayi
  Jumlah seluruh anak balita
  Jumlah seluruh PUS
Data pelayanan :
  Jumlah K1
  Jumlah K4
  Jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan
  Jumlah ibu nifas yang dilayani 3 kali (KF 3) oleh tenaga kesehatan
  Jumlah neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan pada umur 6 – 48 jam
  Jumlah neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan lengkap pada umur 0-28
hari (KN 1, KN 2, KN 3)
  J u m l a h i b u h a m i l , b e r s a l i n d a n n i f a s d e n g a n f a c t o r r i s i k o / k o m p l i k a s i y a n g
d i d e t e k s i o l e h m a s y a r a k a t
  Jumlah kasus komplikasi obstetri yang ditangani
  Jumlah neonatus dengan komplikasi yang ditangani
  Jumlah bayi yang mendapatkan pelayanan kesehatan pada umur 29 hari – 11 bulan
sedikitnya 4 kali
  Jumlah anak balita (12  –  59 bulan) yang mendapatkan pelayanan kesehatan
sedikitnya 8 kali
  Jumlah anak balita sakit yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar
  Jumlah peserta KB aktif
2
2.  Sumber data
Data sasaran berasal dari perkiraan jumlah sasaran (proyeksi) yang dihitung
berdasarkan rumus yang diuraikan dalam BAB III. Berdasarkan data tersebut, Bidan di
Desa bersama dukun bersalin/bayi dan kader melakukan pendataan dan pencatatan
sasaran di wilayah kerjanya.
Data pelayanan pada umumnya berasal dari :
  Register kohort ibu
  Register kohort bayi
  Register kohort anak balita
  Register kohort KB
B. Pencatatan Data
1.  Data Sasaran
Data sasaran diperoleh sejak saat Bidan memulai pekerjaan di desa/kelurahan. Seorang
Bidan di desa/kelurahan dibantu para kader dan dukun bersalin/bayi, membuat peta
wilayah kerjanya yang mencakup denah jalan, rumah serta setiap waktu memperbaiki
peta tersebut dengan data baru tentang adanya ibu yang hamil, neonatus dan anak
balita.
3
Data sasaran diperoleh bidan di desa/kelurahan dari para kader dan dukun bayi yang
melakukan pendataan ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir, bayi dan anak balita
dimana sasaran tersebut diberikan buku KIA dan bagi ibu hamil dipasang stiker P4K di
depan rumahnya. Selain itu data sasaran juga dapat diperoleh dengan mengumpulkan
data sasaran yang berasal dari lintas program dan fasilitas pelayanan lain yang ada di
wilayah kerjanya.
Buku KIA
4
2. Data Pelayanan
Bidan di desa/kelurahan mencatat semua detail pelayanan KIA di dalam kartu ibu, kohort
Ibu, formulir MTBM, formulir MTBS, kartu bayi, kohort bayi, kohort anak balita, kohort KB,
dan buku KIA. Pencatatan harus dilakukan segera setelah bidan melakukan pelayanan.
Pencatatan tersebut diperlukan untuk memantau secara intensif dan terus menerus
kondisi dan permasalahan yang ditemukan pada para ibu, bayi  dan anak di
desa/kelurahan tersebut, antara lain nama dan alamat ibu yang tidak datang
memeriksakan dirinya pada jadwal yang seharusnya, imunisasi yang belum diterima para
ibu, penimbangan anak dan lain lain.
Selain hal tersebut bidan di desa juga mengumpulkan data pelayanan yang berasal dari
lintas program dan fasilitas pelayanan lain yang ada di wilayah kerjanya.
1
DIAGRAM ALUR PENCATATAN PELAYANAN KIA OLEH BIDAN
1
C. Pengolahan Data
Setiap bulan Bidan di desa  mengolah data yang tercantum dalam buku kohort dan
dijadikan sebagai bahan laporan bulanan KIA. Bidan Koordinator di Puskesmas menerima
laporan bulanan tersebut dari semua BdD dan mengolahnya menjadi laporan dan informasi
kemajuan pelayanan KIA bulanan yang disebut PWS KIA. Informasi per desa/kelurahan dan
per kecamatan tersebut disajikan dalam bentuk grafik PWS KIA yang harus dibuat oleh tiap
Bidan Koordinator.
Langkah pengolahan data adalah :  Pembersihan data, Validasi  dan
Pengelompokan.
1.  Pembersihan data :  melihat kelengkapan dan kebenaran pengisian formulir yang
tersedia.
2.  Validasi : melihat kebenaran dan ketepatan data.
3.  Pengelompokan : sesuai dengan kebutuhan data yang harus dilaporkan.
Contoh :
  Pembersihan data :  Melakukan koreksi terhadap laporan yang  masuk dari Bidan di
desa/kelurahan mengenai duplikasi nama, duplikasi alamat, catatan ibu langsung di K4
tanpa melewati K1.
  Validasi : Mecocokkan apabila ternyata K4 & K1 lebih besar daripada jumlah ibu hamil,
jumlah ibu bersalin lebih besar daripada ibu hamil.
  Pengelompokan :  Mengelompokkan ibu hamil anemi berdasarkan desa/kelurahan
untuk persiapan intervensi, ibu hamil dengan KEK untuk persiapan intervensi.
Hasil pengolahan data dapat disajikan dalam bentuk :  Narasi, Tabulasi, Grafik
dan Peta.
1.  Narasi : dipergunakan untuk menyusun laporan atau profil suatu wilayah kerja, misalnya
dalam Laporan PWS KIA yang diserahkan kepada instansi terkait.
2.  Tabulasi: dipergunakan untuk menjelaskan narasi dalam bentuk lampiran.
3.  Grafik:  dipergunakan untuk presentasi dalam  membandingkan keadaan antar waktu,
antar tempat dan pelayanan. Sebagian besar hasil PWS disajikan dalam bentuk grafik.
4.  Peta: dipergunakan untuk menggambarkan kejadian berdasarkan gambaran geografis.
Puskesmas yang sudah menggunakan komputer untuk mengolah  data KIA maka
data dari kartu-kartu pelayanan bidan di desa/kelurahan, dimasukkan ke dalam komputer
sehingga proses pengolahan data oleh bidan di desa/kelurahan dan bidan koordinator
Puskesmas akan terbantu dan lebih cepat.
D. Pembuatan Grafik PWS KIA
PWS KIA disajikan dalam bentuk grafik dari tiap indikator yang dipakai, yang juga
menggambarkan pencapaian tiap desa/kelurahan dalam tiap bulan.
Dengan demikian tiap bulannya dibuat 13 grafik, yaitu :
1.  Grafik cakupan kunjungan antenatal ke-1 (K1).
2.  Grafik cakupan kunjungan antenatal ke-4 (K4).
3.  Grafik cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn).
2
4.  Grafik cakupan kunjungan nifas (KF).
5.  Grafik deteksi faktor risiko/komplikasi oleh masyarakat.
6.  Grafik penanganan komplikasi obsetrik (PK).
7.  Grafik cakupan kunjungan neonatal pertama (KN1).
8.  Grafik cakupan kunjungan neonatal lengkap (KNL).
9.  Grafik penanganan komplikasi neonatal (NK).
10.  Grafik cakupan kunjungan bayi (KBy).
11.  Grafik cakupan pelayanan anak balita (KBal).
12.  Grafik cakupan pelayanan anak balita sakit (BS).
13.  Grafik cakupan pelayanan KB (CPR).
Semuanya itu dipakai untuk alat pemantauan program KIA, sedangkan grafik
cakupan K4, PN, KF/KN, PK, NK, KBy, KBal dan grafik cakupan pelayanan KB (CPR)
seperti telah diuraikan dalam Bab III, dapat dimanfaatkan juga untuk alat advokasi dan
komunikasi lintas sektor.
Di bawah ini dijabarkan cara membuat grafik PWS KIA untuk tingkat puskesmas,
yang dilakukan tiap bulan, untuk semua desa/kelurahan. Bagi bidan di desa akan sangat
penting apabila dapat membuat grafik cakupan dari PWS KIA diatas di tingkat
Poskesdes/Polindes yang diupdate setiap bulannya. Sedangkan untuk puskesmas,
penyajian ke 13 cakupan dalam bentuk grafik maupun angka akan sangat berguna untuk
keperluan analisa PWS lebih lanjut.
Langkah-langkah pokok dalam pembuatan grafik PWS KIA :
1.  Penyiapan data
Data yang diperlukan untuk membuat grafik dari tiap indikator diperoleh dari catatan
kartu ibu, buku KIA, register kohort ibu, kartu bayi, kohort bayi serta kohort anak balita
per desa/kelurahan, catatan posyandu, laporan dari perawat/bidan/dokter praktik
swasta, rumah sakit bersalin dan sebagainya.
  Untuk  grafik antar wilayah,  data yang diperlukan adalah :  Data cakupan per
desa/kelurahan dalam kurun waktu yang sama
Misalnya : untuk membuat grafik cakupan K4 bulan Juni di wilayah kerja Puskesmas
X, maka diperlukan data cakupan K4 desa/kelurahan A, desa/kelurahan B,
desa/kelurahan C, dst pada bulan Juni.
  Untuk  grafik antar waktu,  data yang perlu disiapkan adalah :  Data cakupan per
bulan
  Untuk  grafik antar variabel  diperlukan data variabel yang mempunyai korelasi
misalnya : K1, K4 dan Pn
2.  Penggambaran Grafik.
Langkah – langkah yang dilakukan dalam menggambarkan grafik PWS KIA (dengan
menggunakan contoh indikator cakupan K1) adalah sebagai berikut :
a.  Menentukan target rata – rata per bulan untuk menggambarkan skala pada garis vertikal
(sumbu Y).
3
Misalnya : target cakupan ibu hamil baru (cakupan K1) dalam 1 tahun ditentukan 90 %
(garis a), maka sasaran rata – rata setiap bulan adalah
90%
12 bulan
Dengan demikian, maka sasaran pencapaian kumulatif sampai dengan bulan Juni
adalah (6 x 7,5 %) = 45,0% (garis b).
b.  Hasil perhitungan pencapaian kumulatif cakupan K1 per desa/kelurahan sampai dengan
bulan Juni dimasukkan ke dalam jalur % kumulatif secara berurutan sesuai peringkat.
Pencapaian tertinggi di sebelah kiri dan terendah di sebelah kanan, sedangkan
pencapaian untuk puskesmas dimasukkan ke dalam kolom terakhir (lihat contoh grafik).
c.  Nama desa/kelurahan bersangkutan dituliskan pada lajur desa/kelurahan (sumbu X),
sesuai dengan cakupan kumulatif masing-masing desa/kelurahan yang dituliskan pada
butir b diatas.
d.  Hasil perhitungan pencapaian pada bulan ini (Juni) dan bulan lalu (Mei) untuk tiap
desa/kelurahan dimasukkan ke dalam lajur masing-masing.
e.  Gambar anak panah dipergunakan untuk mengisi lajur tren. Bila pencapaian cakupan
bulan ini lebih besar dari bulan lalu, maka digambar anak panah yang menunjuk ke atas.
Sebaliknya, untuk cakupan bulan ini yang lebih rendah dari cakupan bulan lalu,
digambarkan anak panah yang menunjukkan kebawah, sedangkan untuk cakupan yang
tetap / sama gambarkan dengan tanda (-).
Berikut ini adalah contoh grafik PWS KIA hasil perhitungan tersebut di atas.
Contoh Grafik PWS
X 100
4
Cara perhitungan untuk keduabelas  indikator yang lainnya sama dengan
perhitungan seperti contoh diatas.

Hukum Rahasia Jabatan




HUKUM RAHASIA JABATAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sejak permulaan sejarah kehidupan umat manusia telah diketahui adanya hubungan kepercayaan diantara sesamanya. Dunia kedokteran juga mengenal hubungan kepercayaan antara dokter dengan pasien yang diwujudkan dalam bentuk transaksi terapeutik.
Pasien dalarn transaksi terapeutik ini mempunyai hak atas rahasia kedokteran, yaitu segala sesuatu yang oleh pasien secara sadar atau tidak sadar disampaikan kepada dokter yang merawat dirinya. Selanjutnya dokter diwajibkan berdasarkan profesinya untuk menyimpan rahasia yang dipercayakan kepadanya. Dokter tidak boleh mengungkap rahasia kedokteran tanpa persetujuan pasien.
Menurut Hanafiah, Rahasia adalah sesuatu yang disembunyikan dan hanya diketahui oleh satu orang, oleh beberapa orang saja, atau oleh kalangan tertentu. Kewajiban untuk menyimpan rahasia kedokteran pada pokoknya ialah kewajiban moril yang sudah ada sejak zaman hippokrates jadi lama sebelumnya sebelum undang-undang atau peraturan yang mengatur soal tersebut.
Kewajiban dokter untuk merahasiakan hal-hal yang diketahui adalah berdasarkan pada norma kesusilaan dan norma hukum. Adapun norma kesusilaan yang menjadi pegangan para dokter sejak dahulu kala adalah Sumpah Hippocrates(460-377 SM), yang maknanya tersimpul dalam kalimat : “Segala sesuatu yang kulihat dan kudengar dalam melakukan praktekku, akan aku simpan sebagai rahasia” ( Soerjono, 1998).
Ternyata norma kesusilaan yang tersimpul dalam Sumpah Hippocrates tersebut dianggap tidak mencukupi dan hanya merupakan self imposed regulation, karena ditaati tidaknya tergantung kepada si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu  banyak Negara memiliki undang-undang yang umumnya disusun untuk memperkuat rahasia jabatan dokter sehingga dapat menjamin kepentingan masyarakat (Soerjono, 1998).
Selain, dalam kenyataannya menjaga rahasia tidak semudah teori sehingga kerapkali menimbulkan masalah. Tidak jarang seorang dokter dihadapkan pada suatu dilema. Dokter harus menjaga rahasia pasien atau harus membukanya demi kepentingan umum yang lebih bermanfaat. Dokter harus memilih di antara keduanya yang sama-sama sulit.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Rahasia Jabatan
Rahasia jabatan adalah rahasia seseorang dalam pekerjaan/jabatannya sebagai pejabat struktural. Dalam hal inilah profesionalitas seseorang dalam memangku suatu jabatan dapat dinilai. Misalnya rahasia jabatan dalam kedokteran adalah rahasia dokter sebagai pejabat stuktural, sedangkan rahasia pekerjaan ialah rahasia dokter pada waktu menjalankan praktiknya (fungsional).
Kewajiban menyimpan rahasia jabatan adalah kewajiban moril yang sudah terjadi bahkan sejak zaman Hippokrates. Untuk memperkokoh kedudukan rahasia jabatan dan pekerjaan, Indonesia sudah mengukuhkan peraturan/undang-undang tentang rahasia jabatan. Rahasia jabatan kedokteran diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1966, yang mana mengatakan bahwa dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran.
Rahasia jabatan dokter dimaksud untuk melindungi rahasia dan untuk menjaga tetap terpeliharanya kepercayaan pasien dan dokter. Dokter berkewajiban menyimpan data-data seperti rekap medis seseorang yang sedang atau telah melakukan pengobatan. Oleh karena tanggung jawab menyimpan rahasia pasien ini adalah suatu tanggung jawab moril, perihal rahasia jabatan ini juga diucapkan pada sumpah jabatan seorang dokter, juga oleh KODEKI.
Pada umumnya, saat menjalani pengobatan, seorang dokter akan bertanggung jawab kepada pasien. Sehingga dokter yang bertanggung jawab tersebut berkewajiban untuk memberikan informasi medis apabila diperlukan. Akan tetapi dalam kasus/keadaan tertentu, tugas memberikan informasi medis ini dapat juga disampaikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bertanggung jawab.
2.2 Undang-undang Tentang Rahasia Jabatan
Menurut ketentuan pasal 1 PP No 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran, yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah “segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran”.
Didalam penjelasan pasal 1 tentang kata – kata “segala sesuatu yang diketahui” maksudnya adalah segala fakta yang didapat dalam pemeriksaan pasien, interprestasinya untuk menegakkan diagnosa dan melakukan pengobatan dari anamnesa, pemeriksaan jasmaniah, pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran dan sebagainya. Juga termasuk fakta yang dikumpulkan oleh pembantu-pembantunya. Menurut Hanafiahh, rahasia jabatan ialah rahasia dokter pada waktu menjalankan prakteknya (fungsional).
Rahasia jabatan juga berlaku pada pekerjaan lain, misalnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam Peraturan Pemerintah no. 30 tahun 1980 dinyatakan bahwa PNS wajib menyimpan rahasia negara atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, rahasia jabatan sedikit berbeda bila dalam pengadilan. Dalam persidangan, kewajiban menyimpan rahasia jabatan itu ditiadakan. Misalnya, seorang notaris dalam persidangan, haruslah memberikan keterangan sejelas-jelasnya bila dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus pajak.
2.3 Aturan Hukum Yang Mengatur Rahasia Jabatan Tenaga Kesehatan
      a.     PP No. 10/1966 Menetapkan Simpan Rahasia Kedokteran.
Semua petugas kesehatan wajib menyimpan rahasia kedokterantermasuk berkas rekam medik.
b.     Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), Pasal 322 menyebutkan bahwa :
·         Ayat (1) Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, ia di wajibkan untuk menyimpannya, dihukum dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
·         Ayat (2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang tertentu, nraka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
c.           UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 57 menyebutkan bahwa :
(1)         Setiap  orang  berhak  atas  rahasia  kondisi  kesehatan pribadinya  yang  telah  dikemukakan  kepada  penyelenggara pelayanan kesehatan”
(2)         Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan  pribadi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat   tidak berlaku dalam hal:
a.    Perintah undang-undang;
b.    Perintah pengadilan;
c.    Izin yang bersangkutan;
d.   Kepentingan masyarakat; atau
e.    Kepentingan orang tersebut
d.    UU No 22 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Pasal 32 :
Setiap pasien mempunyai hak (i) mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasik data-data medisnya.
2.4    Sanksi Hukum
Sanksi hukum apabila melakukan pelanggaran terhadap rahasia jabatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, yaitu :
a.   Sanksi Administrative
b.   Sanksi Pidana
c.    Sanksi Perdata
d.   Sansksi Disiplin
2.5   Tenaga Kesehatan Yang Wajib Menyimpan Rahasia Pasien
Ketentuan pasal 3 dari PP No 10 tahun 1966 tentang  wajib simpan rahasia kedokteran “ bahwa pihak-pihak yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksudkan dalam pasal 1 adalah :
       a.    Tenaga kesehatan menurut pasal 2 peraturan pemerintah no 32 tahun 1996 tentang Tenaga kesehatan adalah sebagai berikut:
1)    Tenaga kesehatan terdiri dari :
a)    Tenaga medis;
b)   Tenaga Keperawatan;
c)    Tenaga Kefarmasian;
d)   Tenaga Kesehatan Masyarakat;
e)    Tenaga Gizi;
f)    Tenaga Keterapian Fisik; dan
g)   Tenaga Keteknisan Medik.
2)     Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
3)     Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
4)     Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
5)   Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomology kesehatan, mikrobiologi kesehatan, penyuluhan kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
6)      Tenaga gizi rneliputi nutrisionis dan dietisien.
7)      Tenaga keterapian fisik meiiputi fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis wicara.
8)     Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.
       b.        Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
       2.6    Gugurnya Kewajiban Dokter Untuk Menyimpan Rahasia Kedokteran
Menurut Herkutanto, sebagaimana disitir oleh J. Guwandi ada beberapa keadaan dimana dokter dapat membuka rahasia kedokteran tersebut tanpa sanksi hukum. Keadaan tersebut dapat dibagi dalam 2 golongan.
1)     Adanya ijin atau ijin pasien.
Pasien dianggap telah menyatakan secara tidak langsung bahwa rahasia kedoteran itu bukan lagi merupakan rahasia, sehingga tidak wajib dirahasiakan lagi oleh dokter.
2)     Pembukaan rahasia kedokteran tanpa ijin pasien, karena ada dasar penghapus pidana berdasarkan ketentuan pasal 48,50, dan 51 KUHP.
Fred Ameln juga berpendapat bahwa ada 6 hal yang memungkinkan hak pasien atas rahasia kedokteran ini di buka oleh dokter, yaitu:
a.  Diatur oleh undang-undang (misalnya UU tentang penyakit menular)
b. Pasien mebahayakan umum atau pasien membahayakan orang lain (misalnya, sopir bis yang berpenyakit epilepsy)
c. Pasien dapat memperoleh hak social (misal: pasien memperoleh tunjangan khusus dari perusahaan)
d.   Pasien jelas-jelas memberikna ijin baik lisan maupun tertulis.
e.  Pasien memberikan kesan kepada dokter bahwa ia mengijinkan (dalam hal ini pasien tersebut misalnya membawa teman pendamping di runagn praktek dokter).
f.   Demi kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi.
g. Menurut lestari berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa seorang dokter dapat dibebaskan dari sanksi hukum dalam hal ia mengungkapkan rahasia kedokteran jika terdapat factor-faktor atau hal-hal sebagai berikut:
a) Ijin dari pasien
Seperti yang diketahui bahwa pasien adalah pemilik rahasia kedokteran. Pasien adalah satu-satunya orang yang berhak memutuskan boleh tidaknya konfidensialitas  tentang dirinya diungkapkan. Namun apabila pasien telah memberikan ijin untuk mengungkapkan rahasia atas dirinya, maka dokter terbebas dari kewajibannya menyimpan rahasia tersebut dan tidak dikenai sanksi. Ijin pasien ini dapat diberikan secara lisan maupun tertulis ataupun secara diam-diam.
Pemberian ijin itu bisa secara terbatas, yaitu dalam arti hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja. Dapat juga dibatasi oleh ruang lingkup rahasia itu sendiri, misalkan terbatas hanya kepada apa yang diperlukan saja. Misalnya dalam kaitannya dengan asuransi maka dokter diberikan ijin untuk mengungkapkan pada perusahaan asuransi secara terbatas untuk keperluan asuransi tersebut.
Pemberian ijin secara diam-diam atau anggapan. Misalnya pasien yang dirawat inap di rumah sakit dapat dianggap telah memberikan ijin kepada dokter yang merawatnya untuk mengadakan konsultasi kepada dokter ahli, memberitahukan penyakitnya pada perawat dan asistennya, dan menitipkan berkas rekam medis kepada rumah sakit.
b) Adanya keadaan mendesak atau memaksa
Di dalam keadaan  terpaksa (overmacht), juga tanpa seijin pasien, dokter dapat mengungkapkan rahasia kedokteran. Keadaan terpaksa yang dimaksud adalah suatu situasi dimana suatu norma dapat dilanggar demi suatu kepentingan yang lebih besar.

c) Adanya peraturan perundang-undangan
Seorang dokter yang membuka rahasia kedokteran tidak dapat dipidana karena melaksanakan ketentuan undang-undang. Hal tersebut tersimpul dalam ketentuan pasal 50 KUHP yang berbunyi : “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksankan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Misalnya kewajiban untuk melaporkan kelahiran, kematian, kewajiban untuk melaporkan penyakit-penyakit tertentu dan sebagainya. Dalam hal ini dapat dianggap bahwa secara materil oleh undang-undang sudah dipertimbangkan, bahwa terdapat kepentingan yang lebih besar. Secara formil justifikasi terletak pada adanya perundang-undangan.
d) Adanya perintah jabatan
                   Sebagai dasar pembenar lain untuk melanggar kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran adalah adanya perintah jabatan yang diatur dalam ketentuan pasal 51 KUHP. Pasal ini mengatur tentang seorang dokter yang mempunyai jabatan rangkap seperti militer atau dokter penguji kesehatan.
e) Demi kepentingan umum
Alasan ini timbul berdasarkan kebiasaan dalam praktek, karena pasien tersebut merupakan “public figure”, seorang tokoh pemimpin yang dianggap penting oleh masyarakat. Misalnya tentang pengumuman tentang sakitnya pejabat Negara.
f) Adanya presumed consent dari pasien
Adanya presumed consent, yaitu pasien telah mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa data tentang dirinya akan diketahui oleh orang atau instansi selain dokter. Misalnya apabila seorang memutuskan untuk menjadi anggota ABRI.
Dalam pasal 57 ayat 2 UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan disampaikan Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan  pribadi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1 (“Setiap  orang  berhak  atas  rahasia  kondisi  kesehatan pribadinya  yang  telah  dikemukakan  kepada penyelenggara pelayanan kesehatan”) tidak berlaku dalam hal:
1)        Perintah undang-undang;
2)        Perintah pengadilan;
3)        Izin yang bersangkutan;
4)        Kepentingan masyarakat; atau
5)        Kepentingan orang tersebut
           
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rahasia jabatan ialah rahasia dokter pada waktu menjalankan prakteknya (fungsional). Kewajiban memegang  teguh rahasia jabatan merupakan syarat yang senantiasa harus dipenuhi untuk menciptakan suasana percaya dan mempercayai yang mutlak diperlukan dalam hubungan dokter penderita
Kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran dapat gugur dan dokter tidak dikenai sanksi hukum apabila:
a.         Ada ijin dari pasien
b.         Dokter berada dalam keadaan terpaksa
c.         Dokter manjalankan peraturn perundang-undangan
d.        Dokter melakukan perintah jabatan
e.         Demi kepentingan umum
f.          Adanya presumed consent dari pasien
3.2  Saran
Sebagai seorang tenaga kesehatan, kita diwajibkan untuk memegang  teguh rahasia jabatannya terutama yang berkaitan dengan kondisi pasien.